Aku tidak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu.
Kau adalah sahabat yang paling kukagumi.
Mengapa kau pergi, sahabat?
*
“Laraaaaaaaaassssss!!! Tunggguuuuuu!!” Teriakku menuju terowongan sekolah.
“Ayo kejaaarrrr... Hahahahhaaa...”
Laras terus berlari, dan aku mengejarnya dari belakang. Kami pun berlari hingga menuju gerbang sekolah.
“Ayo Mirra! Nanti kalau kau bisa menyusulku, akan kubelikan kau satu lusin ice cream apa saja yang kau suka!”
“Bener, nih?”
“Beneeeerrrr...” Sambil terus berlari, Laras berusaha menyemangatiku agar aku dapat mengalahkannya. Laras pun menoleh ke belakang, ke arahku. Tiba-tiba..
“LARAAAAAAAAASSSSSSS!!! MINGGIR!!!”
BRUUKK!!
“Woyy, kalau mau lari-larian bukan di sini tempatnya! Ini jalan raya!” Teriak seorang sopir truk kepada Laras. Sambil menahan rasa sakitnya, Laras pun meminta maaf.
“Maaf, Pak!” Lirihnya. Sopir truk itu pun pergi meninggalkannya, dan melaju dengan kencang.
“Hei, Laras!! Huft. Kamu nggak apa-apa, kan?” Tanyaku. Kulihat darah mengalir dari keningnya.
“Laras, kepala kamu berdarah!!” Kataku panik.
“Ya ampun! Lutut kamu juga terluka. Tergores aspal..” Kulihat luka di sekitar kepala, kaki, dan tangannya.
“Mirr, tolong bawa aku ke Klinik.. Aku takut infeksi..”
Bengong. Itulah diriku, terlalu lola (loading lama). Dan akhirnya aku pun sadar.
“Eh, iya! Ya ampun.....” Aku pun menopang tubuh Laras yang penuh luka itu ke Klinik terdekat.
Sesampainya di Klinik..
“Bagaimana lukanya, Dok?”
“Nak Laras, tadi kami sempat memeriksa darahmu.. Apakah kau punya suatu penyakit seperti...”
“Apa, Dok? Aku nggak punya penyakit apa-apa tentang darah,”
“Leukimia?”
“HAH? Serius, Dok? Tapi aku nggak pernah...”
Dokter itu pun mengambil hasil pemeriksaan darah Laras di atas mejanya, dan menatap Laras dengan cukup serius.
“Ini hasilnya.. Tadinya temanmu yang di luar itu...”
“Mirra? Apa dia sudah tahu?”
“Ya.. Tadinya Saya ingin memberitahu anak itu.. Dia masih menunggumu di luar.”
Ada satu tetes air mata yang keluar dari mata milik Laras. Tangannya pun gemetar membaca hasil pemeriksaan darahnya.
“Dokter, tolong tentang hal ini dirahasiakan. Mirra adalah sahabat baikku. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya. Tolong, Dok!”
“Baiklah.. Akan tetapi, orang tuamu harus tau tentang hal ini..”
“Oke. Akan kuberitahu nanti jika aku sudah sampai rumah. Janji!!”
*
Di musim penghujan ini, lagi-lagi hujan turun dengan sangat deras. Aku terus memandangi hujan dari jendela kamarku. Meskipun petir selalu datang dan membuatku sedikit kaget, akan tetapi aku tetap memandangi hujan yang turun. Tatapanku yang menyapu seantero pemandangan di luar kamarku, seolah tidak berarti apa-apa lagi. Murung. Tidak ada lagi keceriaan yang muncul dalam kehidupanku.
“Mirra.. Aku bingung. Aku sudah lama mengetahui hal ini, akan tetapi...”
“Ada apa, Laras?”
“Kau akan mengetahuinya, Mirra..” Ujar Laras. Wajahnya terlihat sedih.
Air mataku pun mengalir lagi. Kali ini membentuk sebuah sungai mungil yang arusnya cukup deras di wajahku. Semua kenangan itu, kembali hadir dalam otakku. Aku masih belum bisa melepaskan sahabatku, Laras.
Laras meninggal 5 bulan yang lalu. Aku baru menyadarinya. Bukan pesawat itu yang menyebabkan kematian sahabatku. Bukan hujan yang mengambil semuanya dari dalam hidupku. Aku tidak seharusnya membenci hujan. Hujan sama sekali tidak bersalah. Akan tetapi hujan telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang kepergian Laras. Aku tahu. Laras sangat ingin mendapatkan beasiswa ke Jepang. Ia sangat ingin mencoba mencicipi bagaimana rasanya bersekolah di tempat yang sangat dikaguminya. Ya, aku tahu itu.
*
“Laras! Kau berhasil mendapatkan apa yang kau mau!! Lihat ini,” Dengan wajah yang berbinar-binar, aku menyodorkan selembar kertas yang berisikan pengumuman itu.
“Hah, aku lolos nih?” Ujar Laras tidak percaya.
“Iya!! Asiik bisa sekolah di Jepang, dong! Dapet beasiswa lagi! Keren banget!!”
“Usahaku tidak sia-sia..” Kata Laras, pelan. Ia pun menangis.
“Laras...” Aku pun memeluk sahabatku itu. Kami pun menangis bersama.
“Kapan kamu berangkat? Seminggu lagi, kan?”
“Iya..” Jawab Laras pelan.
“Heeeiii Laras.. Ayolah! Semangat! Ini kan cita-citamu, dan sekarang kamu sudah mendapatkannya! Jadi, tunggu apa lagi?”
“Mirra.. Jika aku pergi nanti, jangan lupakan aku ya? Kita masih tetap sahabat, kan?” Tanya Laras. Ia pun menatapku tajam-tajam, seolah tidak ingin berpisah.
“Aku tahu ini sulit, dan kita akan merasakan sulitnya berpisah. Akan tetapi, ini yang terbaik untukmu, bukan? Mengapa kau bertanya hal seperti itu, aku akan selalu menjadi sahabatmu. Selamanya.” Jawabku mantap. Sekali lagi, kulihat wajah pucat milik sahabatku itu. Sulit sekali membedakan wajahnya sedang pucat atau tidak, karena wajahnya memang terlihat selalu pucat. Ia pun begitu cantik, juga cerdas. Diam-diam aku pun selalu mengagumi sahabatku ini.
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Hari ini Laras berangkat ke Jepang.
“Mirra!! Don’t forget me, ok?”
“Ok.”
Setelah berpelukan, kami pun menangis. Jujur, sebenarnya aku masih tidak bisa melepaskan sahabatku itu. Akan tetapi aku tidak dapat mencagahnya. Inilah yang terbaik untuknya.
*
Aku masih temenung di depan jendela kamarku untuk menatapi hujan yang masih saja turun. Apakah aku harus terus membenci hujan? Untuk yang kesekian kalinya aku menyeka wajahku lagi. Air mata ini tidak henti-hentinya mengalir, seperti pemandangan yang kulihat di luar sana. Aku masih tidak dapat mengikhlaskan kepergiannya. Ini tidak adil! Mengapa tidak aku saja yang pergi? Mengapa harus Laras? Padahal dia orang yang sangat baik, sedangkan aku? Aku yang tidak berguna, yang tidak bisa apa-apa. Diriku yang selalu mengharapkan kematian. Mengapa kau harus mengambil Laras dariku, ya Tuhan??
Surat terakhir darinya masih terus kusimpan rapi. Kuambil surat tersebut dari laci mejaku.
Tidak. Bukan kecelakaan itu yang menyebabkan kematian Laras. Aku tahu ia adalah orang yang sangat cerdas. Ia tidak mau aku mengetahui penyakitnya. Ia terus menyembunyikannya dariku. Ia tidak ingin melihatku sedih.
*
Tiba-tiba, handphone ku bergetar. “Siapa yang meneleponku jam segini, ya?” Aku pun mengangkat panggilan itu.
“Mirr...”
“Laras?”
“Ya, ini aku.. Mirra,”
“Ada apa denganmu? Mengapa suaramu terdengar sangat lemah?”
“Aku.. aku..”
“Kenapa? Ada apa??”
Sepi. Tidak ada jawaban. Aku masih terus menunggu jawaban darinya. Beberapa menit kemudian, aku dapat mendengar suara ambulans dari sana. Apa yang terjadi? Mengapa suara di sana begitu ribut? Atau jangan-jangan..
“LARAAAASSS!!! JAWAB!! HEI, APAKAH KAU MASIH BISA MENDENGARKU? LARAS!!”
Masih tetap terhubung. Aku masih dapat mendengarkan orang-orang yang ribut di sana, tentunya dengan bahasa Jepang yang sangat tidak ku mengerti. Tiba-tiba..
“Hei, look at this handphone!”
“Hallo?”
“Hallo, who are you?” Tanyaku. Mengapa tiba-tiba ada yang menjawab? Siapa ini?
“Di sini terjadi kecelakaan. Mungkin kau mengenal korban. Hp nya masih tetap menyala.”
“Apa yang terjadi?” Tanyaku lagi, tentu saja dalam bahasa Inggris. Lagi-lagi pikiranku terlalu lola.
“Aku dapat! Ada di dompetnya ada kartu pelajar..Dianah Larasati. Apakah kau mengenalnya?”
“Ya, tentu saja. Beberapa menit yang lalu dia meneleponku. Ada apa dengannya?”
“Dia beserta temannya kecelakaan. Sangat parah. Mungkin nyawanya tidak akan selamat..”
“APA KAU BILANG? Tidak, Laras pasti akan selamat!!”
“Oke, aku akan membantu memberikan informasi untukmu. Berdoa saja agar temanmu itu selamat.”
Panggilan itu pun terputus. Tidak ada harapan lagi. Untuk yang pertama kalinya aku pun menangis sesegukan.
*
Hanya itu yang ku ingat dengan sangat jelas. Ia sudah pergi..
Kubaca surat terakhirnya itu. Tanganku gemetar saat aku memegang surat darinya.
Sahabatku, Mirra. Sudah kukatakan sebelumnya bukan, kau akan mengetahuinya! Maafkan aku, aku harus meninggalkanmu. Umurku tidak akan bertahan terlalu lama lagi. Kau masih punya kesempatan, Mirra! Aku percaya, dan aku yakin kamu pasti bisa menggapai impian terbesarmu untuk ikut olimpiade fisika se-internasional! Aku tahu kamu anak yang cerdas, bahkan genius! Ingat Mirra, bukan hanya kamu saja yang merasa sedih.. Aku pun merasakannya. Jangan bersedih sahabatku, aku akan selalu ada di hatimu. Tidak ada yang benar-benar pergi. Aku hanya pergi untuk sementara ini saja. Kau harus yakin bahwa kita akan bertemu kembali dan bersenang-senang di Syurga, tanpa beban apapun. Janganlah bersedih, tetaplah menjadi Mirra yang tegar! Aku yakin, Tuhan akan selalu melindungimu. Jangan khawatir, aku di sini akan baik-baik saja..
Kutatap lagi hujan di depan. Tiba-tiba, aku teringat dengan guru fisikaku saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 2, yaitu Bu Amel.
“Mirra, lihat pemandangan di depanmu itu. Meskipun jalanan itu berkali-kali diinjak, diludahi, dikotori, seperti tidak dihargai, akan tetapi jalanan itu tetap tegar. Jalan itu tetap menjalankan perannya, tidak penah marah dan mengeluh kesakitan. Jalan itu juga memberikan gaya terhadap apa yang ada di atasnya..”
“Gaya apa? Apa itu ada hubungannya dengan hukum Newton yang ketiga, Bu?”
“Ya, tentu saja. Misalnya. Kau bersandarlah pada dinding ini..” Ujar Bu Mirra. Aku pun menurut, dan bersandar pada dinding yang berada di dekat jendela.
“Lihat! Apakah kau bisa merasakan gaya yang diberikan oleh dinding?”
“Tidak. Gaya apa?”
“Hahahaha.. Sebenarnya dinding itu menekanmu, sehingga kau dapat bersandar pada dinding tersebut. Itulah hukum Newton yang ketiga. Hukum aksi dan reaksi. Saat tubuhmu bersandar pada dinding tersebut, artinya ada interaksi antara kau dan dinding itu..”
Aku pun berfikir sejenak, lalu tersenyum.
“Oh, aku mengerti Bu! Karena jika dinding ini tidak punya gaya, dan tidak menekanku pasti aku tidak akan bisa bersandar pada dinding ini! Pasti aku akan tertekan ke dalam dinding ini..” Kataku bersemangat. Inilah awal kali pertama aku menyukai pelajaran fisika. Fisika itu menyenangkan. Ini adalah pelajaran mengenai kehidupan sehari-hari, bahkan hal sekecil ini pun sudah dibahas di fisika. Sungguh menarik.
Harusnya aku bersyukur. Aku masih diberikan umur yang panjang untuk hidup. Aku masih diberikan rezeki. Tuhan masih peduli denganku. Jika tidak, mau bernafas dengan apa? Tuhan masih menyayangiku. Ia samasekali tidak bersalah. Aku tak seharusnya berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini..
“Mirra, jalani saja hidup ini dengan gembira! Hadapi saja segala halangan dan rintangan yang ada di depanmu itu, karena hidup ini penuh tantangan! Segala sesuatunya pasti selalu ada resikonya. Pasti!”
We’ll meet again in the heaven, my pal.. believe it!!
Itulah kata-kata terakhir dari sahabatku, Laras. Perlahan, semangatku kembali muncul. Aku sadar, aku tak seharusnya terus-menerus seperti ini karena ini akan membuat Laras menjadi semakin sedih di sana.
*
7 bulan kemudian..
Sebentar lagi, hari yang selalu ku tunggu-tunggu datang. Sebulan lagi, aku akan mendapatkan medali dari olimpiade fisika itu. Aku yakin aku pasti bisa! Aku janji, aku akan berubah menjadi lebih baik. Aku akan memenangkan olimpiade fisika ini, dan aku akan membuatmu selalu tersenyum di sana, sahabat..
Calzyra.
Dec, 24th 2010. 23:23 pm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Corr cerita lo bagus bangeet...
Kenapa gak lo bikin novel trus diterbitin aja corr.
Gue yakin lo pasti bisa jadi penulis yang berbakat.
gue baru baca komennya, ini siapa ya yang ngomen? ._.